Pendidikan di
Indonesia hampir setiap pergantian pemerintahan selalu mengalami perubahan
sistem. Bahkan sebelum pergantian pemerintahan terjadi, sistem pendidikan sudah
berganti beberapa kali dengan alasan ada kekurangan dari sistem pendidikan yang
sedang dijalankan. Tuntutan perkembangan selalu menuntut berkembangnya subsistem dari pemerintahan
khususnya di bidang pendidikan. Ketika masyarakat menikmati kemajuan teknologi
pada saat itulah secara tidak sadar masyarakat tersebut dirubah peradabanya
oleh teknologi terssebut. Masyarakat menikmati secara mentah kepuasan yang akan
diberikan oleh kemajuan teknologi. Masyarakat tidak sadar akan dibawa kemana
oleh teknologi yang sedang berkembang. Pada saat masyarakat diberikan kepuasan
oleh perkembangan teknologi yang semakin membabi buta maka disinilah pendidikan
itu muncul dan bisa sejalan dengan teknologi yang sedang berkembang. Tentu saja
perkembangan teknologi tidak bisa menentukan perkembangan moral masyarakat
menjadi lebih baik.
Pendidikan
memang sangat berperan dalam kehidupan masyarakat. Mungkin penentu dari
perubahan masyarakat yang untuk lebih maju adalah pendidikan. Pendidikan harus
bisa membangun berbagai sektor dari indvidu yang diarah. Bukannya malah
mengurangi sisi individu apalagi moral individu tersebut sampai tergerus.
Pembangunan bukan hanya pada sektor dari membangun gedung tetapi membangun
pendidikan juga bisa dilakukan. Pendidikan adalah sasaran yang tepat untuk
pembangunan apalagi sasarannya disini adalah manusia. Perkembangan teknologi
menjadi sangat pesat, hal ini tidak linear dengan sektor pendidikan. Berbagai
pihak sedang mencari jawaban terbaik untuk mengatasi masalah krisis gobal pada
bidang pendidikan. UNESCO menyatakan bahwa masalah pendidikan pada saat ini
sangatlah ditentukan oleh manajemen yang berbasis teknologi dan informasi yang
memadai. Beberapa negara seperti Brasil, Peru, dan Libya menempuh cara efektif
untuk mengatasi masalah krisis pendidikan dengan program OLPC (One Laptop Per
Child) atau satu laptop untuk satu anak. Dengan program itu para siswa dapat
dengan mudah mengakses konten pendidikan dan khasanah IPTEK secara mudah.
Proses
pembelajaran haruslah kreatif dan inovatif agar proses penyelenggaraan
pendidikan bisa lebih efisien dan optimal. Setiap sekolah jika proses
pembelajarannya menggunakan prinsip konstruktivisme maka sekolah tersebut akan
lebih maju dan selalu tahu perkembangan dari masa ke masa. Pendidikan yang
didasari prinsip kontruksivisme menjadikan siswa bersikap lebih mandiri dan
menemukan sendiri pengetahuan yang dirinya butuhkan dalam kehidupannya. Tentu
saja dalam pengawasan yang bersangkutan dan tentu saja lebih tahu tentang
kondisi anak. Konstruktivisme berfokus pada bagaimana sikap siswa
menyusun arti, baik dari sudut pandang mereka sendiri, maupun dari interaksi
dengan orang lain. Dengan kata lain mereka membangun struktur kognitifnya
sendiri. Tak pelak lagi, pembelajaran Konstruktivisme merupakan suatu next
generation learning.
Konstruktivisme
sebagai aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan, teori
belajar dan pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia
pembelajaran. Sebagai landasan paradigma pembelajaaran, konstruktivisme
menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya
pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampun untuk
mengembangkan pengetahuannya sendiri. Sehingga siswa tidak lagi dianggap
sebagai bejana kosong yang siap diisi atau kepasrahan tingkat tinggi yang
mengikuti alur pengetahuan yang diberikan oleh guru. Saat ini siswa dianggap
sebagai mitra belajar guru. Sehingga guru buka satu-satunya sumber informasi
atau sumber belajar. Ada sumber lain yang diharapkan siswa bisa memanfaatkan
antara lain dari teman sebaya, perpustakaan, alam, laboratorium, televisi,
koran dan internet.
Jika
behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan
pendidikan, sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang
sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep
dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat
siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya
tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap
benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja,
melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan
juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus
menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang sangat menentukan dalam
mengembangkan pengetahuannya.
Pembelajaran
sebagai hasil usaha siswa dan pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah
merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan siswa sebagai
bahan mentah bagi proses perenungan dan pengabstrakan. Setiap siswa, sebenarnya
telah mempunyai satu aset ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif.
Untuk membina siswa dalam menemukan pengetahuan baru, guru sebaiknya
memerhatikan struktur kognitif yang ada pada mereka. Pada proses belajar
mengajar, guru tidak lagi hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi siswa
sendiri yang harus membangun pengetahuannya (knowledge is constructed by
human). Mengapa? Karena pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau
kaidah yang siap diterima dan diingat siswa. Siswa harus mengonstruksi
pengetahuannya sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu
dibiasakan untuk memunculkan ide-ide baru, memecahkan masalah, dan menemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dalam ide-ide konstruktif, biarkan siswa
mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan esensi
konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu
informasi kompleks ke situasi lain. Apabila dikehendaki, informasi itu menjadi
milik mereka sendiri.
Kontruktivisme
merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk,
2001:3). Pendapat lain mengatakan
konstruktivisme adalah prespektif teoritis yang berfokus pada bagaimana orang,
sebagai individu, mengkonstrusi makna dan pengalaman-pengalaman mereka (Jeanne
Ellis Ormrod, 2008:324), konstruksi seperti ini lebih kepada konstruktivisme
individual. Konstruktivisme juga bisa diartikan perspektif teoritis yang
berfokus pada usaha kolektif untuk memberikan makna pada dunia (Jeanne Ellis
Ormrod, 2008:325), konstruksi seperti ini lebih kepada konstruktivisme sosial.
Kata
konstruktivisme biasa digunakan untuk pembangunan sebuah gedung. Tetapi dalam
proses pembelajaran kata konstrutivisme digunakan untuk membangun sebuah
kemandirian siswa. Potensi yang ada dalam siswa tersebut dibuat dan dibangun
dengan proses kemandirian. Tekanan utama teori konstruktivisme adalah lebih
memberikan tempat kepada siswa dalam proses pembelajaran dari kepada guru. Dalam
konstruktivisme berpandangan bahwa peserta didik yang berinteraksi dengan
berbagai obyek dan peristiwa sehingga mereka memperoleh dan memahami pola-pola
penanganan terhadap objek dan peristiwa tersebut. Konstruktivisme sebagai
aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan, teori belajar dan
pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia
pembelajaran.
Pembelajaran didefinisikan sebagai perubahan jangka panjang dalam representasi atau asosiasi mental sebagai hasil dari pengalaman (Jeanne Ellis Ormrod, 2008:269). Dilihat dari definisi tersebut ada 3 hal yang perlu diperhatikan antara lain :
Pembelajaran didefinisikan sebagai perubahan jangka panjang dalam representasi atau asosiasi mental sebagai hasil dari pengalaman (Jeanne Ellis Ormrod, 2008:269). Dilihat dari definisi tersebut ada 3 hal yang perlu diperhatikan antara lain :
- Pembelajaran sebagai perubahan jangka panjang yaitu lebih sekedat penggunaan informasi secara singkat dan sambil lalu, namun tidak selalu tersimpan selamanya.
- Pembelajaran melibatkan representasi atau asosiasi mental dan interkoneksi internal yang menyimpan pengetahuan dan ketrampilan baru yang diperoleh.
- Pembelajaran adalah perubahan yang dihasilkan dari pengalaman, sebagai hasil kematangan fisiologis, kelelahan, atau pengalaman lain yang membuat seseorang ingin berubah.
Selama bertahun-tahun, para peneliti telah
menggunakan pendekatan berbeda dalam studi mereka tentang pembelajaran manusia.
Awalnya, beberapa psikolog hanya meminta orang untuk melihat ke dalam kepala
mereka dan menggambarkan apa yang sedang mereka lakukan secara mental. Namun
dimulai pada awal 1900-an, banyak psikolog yang mengkritik pendekatan ini
terlalu subyektif. Kemudian banyak para ahli yang mengembangkan beberapa model
pembelajaran, salah satunya pembelajaran dengan stimulli-respons dikenal dengan
konsep pembelajaran behaviorisme. Pembelajaran ini mengamati peristiwa
lingkungan dengan perilaku manusia kemudian mengidentifikasi hubungan sebab
akibat diantara keduanya. Meski demikian, hingga tahun 1960-an banyak para ahli
pembelajaran mulai menyadari bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya memahami
pembelajaran hanya dilihat dari perilaku saja, tetapi pikiran juga sangat perlu
diperhatikan. Tetapi semua teori merujuk pada bagaimana seorang guru mengelola
para siswanya di dalam kelas atau dengan metode apa seorang guru memberikan
materi agar siswa bisa menyerap dan menerima dengan mudah.
Ketika orang mengisi kesenjangan tentang apa yang mereka panggil berdasarkan apa yang kelihatannya logis, orang sering membuat kesalahan suatu gejala yang disebut dengan kesalahan rekonstruksi (Jeanne Ellis Ormrod, 2008:324). Ada beberapa proses konstruksi dalam pembelajaran yang harus dilalui, diantaranya :
Perlu diperhatikan bahwa siswa sering mengkontruksi makna dan tafsiran mereka yang unik di setiap materi pelajaran yang mereka ikuti. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan dan harapan (ekspektasi) sebelumnya secara khusus mungkin mempengaruhi proses belajar ketika informasi baru bersifat ambigu (Eysenck & Keane, 1990 dalam Jeanne Ellis Ormrod, 2008:323). Komunikasi yang baik dengan para siswa dalam proses pembelajaran sangat perlu diperhatikan baik tentang akademis atupun non akademis. Sehingga para siswa dapat dengan cepat mengkontruksi untuk menuju ke proses penyimpanan.
Dalam suatu peristiwa yang menarik, terkadang orang langsung bisa menjelaskan dengan detail hanya dengan dipanggil dengan beberapa kata saja. Bahkan peristiwa itu bisa mengkontruksi dalam memori orang dengan menambahkan beberapa hal yang menarik. Karena dirasa peristiwa tersebut sangat menarik, sehingga tersimpan dengan baik dalam ingatan. Dalam situasi yang menarik, orang bisa saja mengkontruksi memori dalam dirinya terhadap suatu peristiwa dengan mengkombinasikan bagian-bagian yang menarik yang dapat dipanggil dengan pengetahuan dan asumsi masing-masing orang mengenai dunia (Roediger & McDermott, 2000 ; D, L. Schacter, 1999 dalam Jeanne Ellis Ormrod, 2008:323).
Dalam proses konstruksi, hubungan sosial juga diperhatikan karena para siswa juga perlu bekerja sama. Kerja sama ini dimaksudkan agar jika ada siswa yang bingung terhadap materi dan malu untuk bertanya bisa bertanya kepada teman dan bisa melakukan belajar kelompok dengan teman. Dalam beberapa kesempatan, makna dikonstruksi secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih serentak dalam satu waktu, contohnya ketika salah satu siswa ada yang kebingungan dengan sebuah materi maka siswa tersebut bertanya pada teman lain atau mengajak temannya untuk belajar kelompok.
Konstruksi sosial pada pembelajaran dalam proses penyerapan pengetahuan yang melibatkan siswa dan guru yang bekerja sama secara aktif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang berbagai informasi atau peristiwa. Meski guru bisa saja mengambil inisiatif dan memonitor suatu kegiatan belajar, siswa bekerja sama satu sama lain untuk memahami berbagai topik pelajaran. Para ahli psikologi dan pendidik semakin mengakui manfaat proses kerja sama para siswa dalam rangka mengkontruksi makna dari setiap materi pelajaran di kelas, misalnya untuk mengeksplorasi, menjelaskan, mendiskusikan, dan mendebat topik-topik tertentu baik dalam kelompok kecil maupun melibatkan seluruh anggota kelas.
Ketika siswa mengkontruksi pemahamannya sendiri, tentu tidak ada jaminan bahwa mereka akan mengkontruksi pemahaman yang akurat. Kewajiban sebagai seorang guru tidak hanya membantu siswa mengkontruksi pemahaman yang akurat tentang dunia sekitar mereka, tetapi juga mendorong mereka melepaskan setiap kepercayaan yang keliru yang telah mereka konstruksi sebelumnya. Pemahaman yang tidak sesuai dapat menghambat pembelajaran yang baru (Kuhn, 2001b; Reiner et, al, 2000; K. J. Rooth & Anderson, 1988 dalam Jeanne Ellis Ormrod, 2008:339). Terkadang para siswa menyimpulkan secara tidak tepat hubungan sebab akibat antara dua objek atau peristiwa hanya karena keduanya terjadi pada saat yang sama, lebih parah lagi jika siswa mendapatkan gagasan yang keliru dari orang lain, termasuk guru dan pengarang buku pelajaran. Jika keadaan demikian terus berlanjut maka siswa akan terus mempercayai bahkan memori mereka akan terekontruksi.
Ketidak tepat sasaran yang dimaksud adalah pemahaman siswa yang kurang memahami karena tidak diberikan dasar pemahaman yang matang dari berbagai sumber dan juga siswa sering memakan mentah setiap literatur yang didapatkan dari manapun tanpa mendiskusikan terlebih dahulu dengan yang lebih tahu contohnya kepada guru yang bersangkutan. Siswa terkadang menarik kesimpulan yang salah dengan mendasarkannya hanya pada bagaimana kelihatannya sesuatu (di Sessa, 1996; Duit, 1991; Reiner et. al, 2000 dalam Jeanne Ellis Ormrod, 2008:339). Masyarakat dan budaya dapat memperkuat kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima umum tetapi terbukti sahih tetang suatu fenomena atau peristiwa.
Setiap siswa mempunyai keberagaman yang berbeda-beda dalam melakukan proses-proses konstruktif, terlebih lagi pada siswa yang berkebutuhan khusus. Misalnya pada siswa yang mempunyai perhatian khusus dari guru karena mempunyai perilaku yang kurang menyenangkan dan berbeda dengan tema-teman sekelasnya. Bisa saja daya tangkap mereka menafsirkan bahwa hal tersebut sebagai proses agresi bagi dirinya. Perlu disaddari bahwa masing-masing siswa menafsirkan topik pelajaran dengan cara yang unik dan kreatif. Masing-masing siswa memilliki basis pengetahuan yang berbeda-beda termasuk mereka memandang dunia yang ada disekitar mereka. Bahkan jika ada siswa yang budayannya menghubung-hubungkan peristiwa-peristiwa alam dengan kekuatan-kekuatan supernatural bisa mengalami kesulitan menerima penjelasan yang lebih ilmiah. Ada juga siswa yang budayannya memandang pertempuran historis tertentu dengan melibatkan orang baik dan orang yang jahat, dan mempersepsikan kalau orang yang baik akan selalu menang dari pada orang yang jahat atau bisa seimbang.
Beragam strategi dapat membantu mengarahkan siswa menuju terjadinya perubahan konseptual mereka. Walaupun pada akhirnya siswa sendirilah yang mengontrol proses-proses kognitif yang memudahkan mereka memahami gagasan-gagasan baru dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Menilai pemahaman siswa juga penting setelah akhir pelajaran, hal tersebut sering dilupakan oleh beberapa guru. Evaluasi ini berguna jika ada siswa yang memahami makna yang kurang benar bisa langsung diarahkan. Beberapa mikonsepsi dan pemahaman yang sebagian benar sebagian salah bisa saja tetap bertahan kendati kita telah mengerahkan segala usaha untuk meluruskannya.
Guru seringkali mengajarkan siswa prosedur-prosedur yang jelas dan tahap demi tahap untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Namun dalam beberapa kesempatan barangkali lebih berguna membiarkan siswa mgembangkan prosedur mereka sendiri melalui percobaan. Siswa paling mungkin mengkontruksi pandangan pandangan yang produktif tentang dunia saat mereka merasakan manfaat dari mengalami dunia secara langsung dan sari mempelajari bagaimana orang-orang sebelum mereka menafsirkan pengalaman manusia. Siswa dari beragam latar belakang budayanya biasanya datang kke sekolah dengan skema perilaku dan keanehan yang berbeda-beda. hal tersebut mereka bawa dengan keadaan yang sadar dan siap untuk ditransformasikan ke teman yang lain.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat membutuhkan perubahan materi yang fleksibel dan harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi tersebut. Dalam konsep konstruktivisme menyatakan bahwa semua pengetauan yang diperoleh adalah hasil konstruksi diri sendiri. Siswa harus mampu dalam hal tersebut, tentu saja harus dalam tahap pengawasan terhadap sesuatu yang baru saja diterima. Konstruktivisme tidak lagi menggunakan bahasa belajara-mengajar tetapi sudah pada tahap pembelajaran. Keaktifan siswa dalam mengkontruksi pengetahuan yang masuk berdasarkan pemahamana pengetahuan yang masuk ke ddalam diri siswa tersebut.
Dalam hal ini jelas bahwa siswa adalah fokus utama sedangkan guru hanya sebagi fasilitator atau bersama-sama keduanya secara aktif melakukan sebuah proses pembelajaran. Perilaku dari pembelajaran konstruktivisme menunjukkan kemampuan siswa menunjukkan sesuatu, menunjukkan suatu kinerja, dan memamerkan hasil karyannya untuk umum bukan sekedar hanya mengulang apa yang diajarkan oleh guru.
Mengkontruksi pemahaman yang terintegrasi mengenai setiap topix yang rumit pastilah memakan banyak waktu. Oleh karena itu banyak guru yang mendukung prinsip sedikit itu lebih baik. dengan mempelajari mateeri yang sedikit tetapi tuntas, akan mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam. Tetapi jika siswa tidak mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan akurat, maka materi yang didapatkan tidak akan tuntas sesuai dengan ketentuan akademik yang diberikan. Maka siswa perlu mengambil langkah aktif untuk mendorong perubahan konseptual.
Ketika orang mengisi kesenjangan tentang apa yang mereka panggil berdasarkan apa yang kelihatannya logis, orang sering membuat kesalahan suatu gejala yang disebut dengan kesalahan rekonstruksi (Jeanne Ellis Ormrod, 2008:324). Ada beberapa proses konstruksi dalam pembelajaran yang harus dilalui, diantaranya :
- Konstruksi dalam proses penyimpanan
Perlu diperhatikan bahwa siswa sering mengkontruksi makna dan tafsiran mereka yang unik di setiap materi pelajaran yang mereka ikuti. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan dan harapan (ekspektasi) sebelumnya secara khusus mungkin mempengaruhi proses belajar ketika informasi baru bersifat ambigu (Eysenck & Keane, 1990 dalam Jeanne Ellis Ormrod, 2008:323). Komunikasi yang baik dengan para siswa dalam proses pembelajaran sangat perlu diperhatikan baik tentang akademis atupun non akademis. Sehingga para siswa dapat dengan cepat mengkontruksi untuk menuju ke proses penyimpanan.
- Konstruksi dalam proses pemanggilan
Dalam suatu peristiwa yang menarik, terkadang orang langsung bisa menjelaskan dengan detail hanya dengan dipanggil dengan beberapa kata saja. Bahkan peristiwa itu bisa mengkontruksi dalam memori orang dengan menambahkan beberapa hal yang menarik. Karena dirasa peristiwa tersebut sangat menarik, sehingga tersimpan dengan baik dalam ingatan. Dalam situasi yang menarik, orang bisa saja mengkontruksi memori dalam dirinya terhadap suatu peristiwa dengan mengkombinasikan bagian-bagian yang menarik yang dapat dipanggil dengan pengetahuan dan asumsi masing-masing orang mengenai dunia (Roediger & McDermott, 2000 ; D, L. Schacter, 1999 dalam Jeanne Ellis Ormrod, 2008:323).
Dalam proses konstruksi, hubungan sosial juga diperhatikan karena para siswa juga perlu bekerja sama. Kerja sama ini dimaksudkan agar jika ada siswa yang bingung terhadap materi dan malu untuk bertanya bisa bertanya kepada teman dan bisa melakukan belajar kelompok dengan teman. Dalam beberapa kesempatan, makna dikonstruksi secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih serentak dalam satu waktu, contohnya ketika salah satu siswa ada yang kebingungan dengan sebuah materi maka siswa tersebut bertanya pada teman lain atau mengajak temannya untuk belajar kelompok.
Konstruksi sosial pada pembelajaran dalam proses penyerapan pengetahuan yang melibatkan siswa dan guru yang bekerja sama secara aktif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang berbagai informasi atau peristiwa. Meski guru bisa saja mengambil inisiatif dan memonitor suatu kegiatan belajar, siswa bekerja sama satu sama lain untuk memahami berbagai topik pelajaran. Para ahli psikologi dan pendidik semakin mengakui manfaat proses kerja sama para siswa dalam rangka mengkontruksi makna dari setiap materi pelajaran di kelas, misalnya untuk mengeksplorasi, menjelaskan, mendiskusikan, dan mendebat topik-topik tertentu baik dalam kelompok kecil maupun melibatkan seluruh anggota kelas.
Ketika siswa mengkontruksi pemahamannya sendiri, tentu tidak ada jaminan bahwa mereka akan mengkontruksi pemahaman yang akurat. Kewajiban sebagai seorang guru tidak hanya membantu siswa mengkontruksi pemahaman yang akurat tentang dunia sekitar mereka, tetapi juga mendorong mereka melepaskan setiap kepercayaan yang keliru yang telah mereka konstruksi sebelumnya. Pemahaman yang tidak sesuai dapat menghambat pembelajaran yang baru (Kuhn, 2001b; Reiner et, al, 2000; K. J. Rooth & Anderson, 1988 dalam Jeanne Ellis Ormrod, 2008:339). Terkadang para siswa menyimpulkan secara tidak tepat hubungan sebab akibat antara dua objek atau peristiwa hanya karena keduanya terjadi pada saat yang sama, lebih parah lagi jika siswa mendapatkan gagasan yang keliru dari orang lain, termasuk guru dan pengarang buku pelajaran. Jika keadaan demikian terus berlanjut maka siswa akan terus mempercayai bahkan memori mereka akan terekontruksi.
Ketidak tepat sasaran yang dimaksud adalah pemahaman siswa yang kurang memahami karena tidak diberikan dasar pemahaman yang matang dari berbagai sumber dan juga siswa sering memakan mentah setiap literatur yang didapatkan dari manapun tanpa mendiskusikan terlebih dahulu dengan yang lebih tahu contohnya kepada guru yang bersangkutan. Siswa terkadang menarik kesimpulan yang salah dengan mendasarkannya hanya pada bagaimana kelihatannya sesuatu (di Sessa, 1996; Duit, 1991; Reiner et. al, 2000 dalam Jeanne Ellis Ormrod, 2008:339). Masyarakat dan budaya dapat memperkuat kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima umum tetapi terbukti sahih tetang suatu fenomena atau peristiwa.
Setiap siswa mempunyai keberagaman yang berbeda-beda dalam melakukan proses-proses konstruktif, terlebih lagi pada siswa yang berkebutuhan khusus. Misalnya pada siswa yang mempunyai perhatian khusus dari guru karena mempunyai perilaku yang kurang menyenangkan dan berbeda dengan tema-teman sekelasnya. Bisa saja daya tangkap mereka menafsirkan bahwa hal tersebut sebagai proses agresi bagi dirinya. Perlu disaddari bahwa masing-masing siswa menafsirkan topik pelajaran dengan cara yang unik dan kreatif. Masing-masing siswa memilliki basis pengetahuan yang berbeda-beda termasuk mereka memandang dunia yang ada disekitar mereka. Bahkan jika ada siswa yang budayannya menghubung-hubungkan peristiwa-peristiwa alam dengan kekuatan-kekuatan supernatural bisa mengalami kesulitan menerima penjelasan yang lebih ilmiah. Ada juga siswa yang budayannya memandang pertempuran historis tertentu dengan melibatkan orang baik dan orang yang jahat, dan mempersepsikan kalau orang yang baik akan selalu menang dari pada orang yang jahat atau bisa seimbang.
Beragam strategi dapat membantu mengarahkan siswa menuju terjadinya perubahan konseptual mereka. Walaupun pada akhirnya siswa sendirilah yang mengontrol proses-proses kognitif yang memudahkan mereka memahami gagasan-gagasan baru dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Menilai pemahaman siswa juga penting setelah akhir pelajaran, hal tersebut sering dilupakan oleh beberapa guru. Evaluasi ini berguna jika ada siswa yang memahami makna yang kurang benar bisa langsung diarahkan. Beberapa mikonsepsi dan pemahaman yang sebagian benar sebagian salah bisa saja tetap bertahan kendati kita telah mengerahkan segala usaha untuk meluruskannya.
Guru seringkali mengajarkan siswa prosedur-prosedur yang jelas dan tahap demi tahap untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Namun dalam beberapa kesempatan barangkali lebih berguna membiarkan siswa mgembangkan prosedur mereka sendiri melalui percobaan. Siswa paling mungkin mengkontruksi pandangan pandangan yang produktif tentang dunia saat mereka merasakan manfaat dari mengalami dunia secara langsung dan sari mempelajari bagaimana orang-orang sebelum mereka menafsirkan pengalaman manusia. Siswa dari beragam latar belakang budayanya biasanya datang kke sekolah dengan skema perilaku dan keanehan yang berbeda-beda. hal tersebut mereka bawa dengan keadaan yang sadar dan siap untuk ditransformasikan ke teman yang lain.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat membutuhkan perubahan materi yang fleksibel dan harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi tersebut. Dalam konsep konstruktivisme menyatakan bahwa semua pengetauan yang diperoleh adalah hasil konstruksi diri sendiri. Siswa harus mampu dalam hal tersebut, tentu saja harus dalam tahap pengawasan terhadap sesuatu yang baru saja diterima. Konstruktivisme tidak lagi menggunakan bahasa belajara-mengajar tetapi sudah pada tahap pembelajaran. Keaktifan siswa dalam mengkontruksi pengetahuan yang masuk berdasarkan pemahamana pengetahuan yang masuk ke ddalam diri siswa tersebut.
Dalam hal ini jelas bahwa siswa adalah fokus utama sedangkan guru hanya sebagi fasilitator atau bersama-sama keduanya secara aktif melakukan sebuah proses pembelajaran. Perilaku dari pembelajaran konstruktivisme menunjukkan kemampuan siswa menunjukkan sesuatu, menunjukkan suatu kinerja, dan memamerkan hasil karyannya untuk umum bukan sekedar hanya mengulang apa yang diajarkan oleh guru.
Mengkontruksi pemahaman yang terintegrasi mengenai setiap topix yang rumit pastilah memakan banyak waktu. Oleh karena itu banyak guru yang mendukung prinsip sedikit itu lebih baik. dengan mempelajari mateeri yang sedikit tetapi tuntas, akan mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam. Tetapi jika siswa tidak mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan akurat, maka materi yang didapatkan tidak akan tuntas sesuai dengan ketentuan akademik yang diberikan. Maka siswa perlu mengambil langkah aktif untuk mendorong perubahan konseptual.